Gadis Batas Surat
“neng permisi neng” kata laki laki paruh baya itu menyadarkan ku dari
lamunan tak berarti. Aku bergeser sedikit ke belakang menyandar dinding kereta
yang sedang melaju. Bukan karena aku tida mendapatkan tempat duduk, namun aku
pergi mencari toilet karena sepanjang perjalanan hingga tadi aku merasakan
ingin buang air kecil. Ya aku lupa membawa sekantung cemilannya dan berakhir
hanya meminum air putih 1,5 liter dan kopi kalengan.
Sungguh, kalau bukan karena hasrat buang air kecil ini besar, aku sudah
balik ke kursi penumpang. Bagaimana tidak toilet yang dihadapan ku saat
ini sungguh teramat tidak layak disebut toilet. Bekas putung rokok, bekas
plastik pembalut, tempat sampah yang lembab dan becek didalamnya, dan wc yang
--- cukup, aku busa muntah menceritakan keadaan itu. Aku harus mencari keadaan
yang membuatku lelebih segar.
Ya pemandangan perjalanan kereta membuatku perasaanku lebih baik. Padi-padi
yang siap panen itu sungguh indah. Berjajah rapih, menundukan sempurna, bahkan
terhampar luas di sisi kanan-kiri kereta yang ku tumpangi ini. Pemandangan yang
indah untuk orang yang jarang dan langka melihat keadaan seperti itu.
“permisi mba, ini ada yang nempatin gak ya? Aku menoleh dan mendapati
laki-laki brewokan menggunakan tas punggung besar menunjuk lapak kosong yang
sudah tak berpenghuni di sebelahku setelah pemilik sebelumnya turun di stasiun.
“silahkan mas. Kosong kok” kata ku langsung memperhatikan pemandangan lagi.
“makasih ya mba” Aku mengangguk tanpa menoleh, laki-laki itu langsung duduk
disebelahku dan memangku tas besarnya. Hening, tak ada pembicaraan lagi yang
keluar dari ku ataupun dari laki-laki itu. Kita hanya sibuk dalam pikiran dan
kegiatan masing-masing.
Orang-orang lalu lalang berhambur keluar dari tiap gerbong. Kini aku telah
sampai di kota yang inginku kunjungi. Yogyakarta. Surganya para pelancong untuk
menikmati tiap sudut daerahnya dan melupakan sesaat penatnya Ibu Kota.
***
“Tasya!” panggil ibu-ibu dengan pakaian yang ala kadarnya dan tas jinjing
di genggamannya. Aku menghamipir Bude’ Tri yang kini sedang melambai-lambaikan
tangannya kearah ku.
Mengapa harus Jogja? Entah. Tujuan pergi ke Jogja? Em, hanya hasrat ku
karena ingin saja. Apakah kamu serius? Agh! Aku ke sini karena sebuah e-mail
yang mengatakan—Kamu akan datang kan?
Aku sebenernya tidak ingin pergi namun hatiku berkata lain. Aku masih
tmenyimpan rasa ini. Hingga aku nekat untuk mengabaikan semua yang terjadi.
***
“Tasya makan dulu yuk nak” Logat khas Jogja keluar dari mulut Bude’ Tri.
Dia dan Laras—anak Bude’ Tri, yang menyiapkan makanan yang sudah tersaji rapih
dan enak diatas meja makan.
“wah Bude’ masih inget aja sama makanan kesukaanku. Pasti enak nih. Makan duluan
ya Bude”
“iya dong Bude tuh kangen banget sama kamu. Ampe inget makanan kesukaan mu
apa kan. Makan yang banyak ya Sya. Baru abis itu kamu istirahat”
Hening sesaat, lalu Bude membuka percakapan. “kamu tuh sebenernya ada
urusan apa ke Jogja? Kok tumben mendadak gini.” kata Bude sambil melahap nasi
yang mau memasuki mulutnya.
Aku tersentak mendengar pertanyaan Bude“ Eh... Hmm.. entahlah Bude’ Aku hanya
mencoba mengikuti kata hatiku saja hingga sampai kesini.”
“Bude’ tau pasti ada yang benar benar mengganggu fikiranmu saat ini, tapi
Bude harap apapun kejadian yang kau alami, kamu harus jaga kesehatan mu
sendiri, jangan pernah untuk menyakiti diri sendiri. masa sulit itu pasti
datang. Sekarang jalani aja apa yang ada didepanmu. Percayalah semua akan baik
baik saja nak”
“hm iya Bude gausah khawatir aku bakalan baik baik aja kok” Senyumku kepadanya. “yaudah bude aku duluan
ya kekamar mau istirahat dulu” Bude mengangguk menjawab dan aku membalikan
badan menuju kamar. Aku ingin merilekskan
diri, memulihkan stamina tubuh ini, menyiapkan fisik dan yang paling utama
adalah mental. Sungguh, kota ini membuat ku gila.
***
Aku kini melangkah memasuki gedung yang saat ini sudah di hiasi oleh
dekorasi unik dan megah. Peach, hijau lumut, dan juga pink soft mendominasi
seluruh warna di sini. Walaupun modern namun tidak meninggalkan kesan
tradisional. Menarik. Seperti kamu dengan pakaian resepsi pengantin yang
mengagumkan. Oh, sungguh.. mengapa kenyataan saat ini sungguh menyakitkan untuk
ku? Tidak bisakah, sedikit saja kebahagian berpihak padaku? Untuk saat ini? Aku
ingin kamu. Melihat mu berpenampilan seperti ini sekarang, membuat sesuatu yang
berdetak sedaritadi di dada ku tak mau berhenti. Entah kapan berhentinya,
mungkin nanti.. setelah semua kesakitan ku hilang.
Rasa penasaran ku terbayar sudah. Dirimu pun sudah melihat ku datang di
acara terpenting mu, mungkin. Aku memang datang ke acara terpenting mu, namun
aku sama sekali tidak ingin memberi selamat atas kebahagian mu yang saat ini
justru membuat ku terbakar api cemburu. Panas. Bukan karena suhu, namun keadaan
ini yang membuat atmosfer sekeliling ku panas. Berkeliling dan menebar senyum
palsu ke orang-orang tidak membuat api ini padam. Hingga aku sudah tak peduli
dengan acara di dalam gedung sana. Hanya duduk di bangku yang tepat di bawah
pohon rindang. Tidak seramai seperti yang di dalam, tapi cukup membuat ku
perlahan-lahan mengembalikan kewarasan ku ini.
"Terima kasih" bagaimana bisa orang ini disini? Aku sedang tak
ingin di ganggu bahkan kamu sekali pun, Dias. Dia sangat gagah dengan jaz itu.
"Kamu engga perlu memandangku begitu lama seperti itu" sial.
Narsis sekali dirimu.
Aku membuang
muka, acuh. Lebih tepatnya tak peduli.
"Kenapa kau tinggalkan acara mu?"
"Butuh udara segar"
"Omong kosong" aku menghardik dirinya.
"Sama seperti mu." aku menoleh cepat kearahnya. Maksudmu
apa?--tak perlu ku lontarkan pertanyaan itu, raut wajah ku sudah mewakilinya.
"Berhentilah bersikap sok kuat seperti itu. Apakah kau tak lelah
memakai topeng? Apakah tak apa?"
"Apa peduli mu? Aku yang merasakan dan bukan kau. Jadi pergilah dari
sini"
Tuhan.
Mengapa aku harus terjebak dalam situasi seperti ini?. Membuatku tambah
frustasi saja.
"cobalah terima kenyataan dan jalani hidupmu dengan baik. Cari
laki-laki yang lebih baik dari ku"
Tubuhku gemetar mendengar itu.
"Oh mudah sekali anda berbicara seperti itu, Tuan" sarkastik
sekali kah ucapan ku?
"Cukup 'Sya. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan"
Ada apa dengan raut wajah mu saat ini? Kamu kasihan padaku? Sayangnya aku
tak butuh rasa kasihan mu itu.
"terima kasih atas perhatiannya. Aku pergi"
Aku sungguh tak bisa menahan air mata ini lagi. Aku malu.
"Ku mohon--" cengkraman tangannya kuat, mampu membuat ku
memberhentikan langkah ku untuk pergi dari sini.
"--jangan berpikir aku tak peduli pada dirimu. Aku juga sama sakitnya
dengan dirimu. Aku tak bisa mengatakan kenyataan sebenarnya padamu" lanjutnya.
Genggamannya mengendur dan akhirnya terlepas. Aku melanjutkan langkah ku dan
pergi dari lokasi.
Tidak ada lagi kenangan manis di kota ini. Aku berhenti. Aku menuruti
perintahmu untuk menghapusnya dan mencari takdir baru.
Biarlah rasa sayang ku ini terus menghantui ku. Aku yang salah dari awal.
Terlalu terobsesi padamu sehingga saat resepsi pernikahan mu saja rasanya aku
ingin menghancurkannya dengan bom rakitan. Aku terlalu gampangan yang menerima
dengan mudah perhatian seorang laki-laki baik seperti mu. Oh, murahan sekali
dirimu, Tasya.
Helaan napas berat ini menjadi awal bahwa aku saat ini merelakan mu untuk
yang lain.
***
7 bulan kemudian.
Oh tidak. Aku benci hari minggu. Kenapa harus ada hari minggu? Beberapa jam
lagi hari sibuk pertama di awal minggu bulan November akan tiba. Ya walaupun
bisa dibilang masih lama tapi ini 'horor'. Oke, ini bad day.
"Hey, kamu tasya kan?" perempuan berkerudung pink memegang bahu
kanan ku. Tunggu, sepertinya aku tahu dia.
"Fatimah kah?"
"IYA. Benar. Waah ingatan mu ternyata masih bagus ya Tas" dia
sungguh senang sekali bertemu ku. Aku juga. Em, dia adalah tetangga sebelah
rumah ku dulu. Ya, sebelum ku putuskan untuk bergabung lagi dan pulang ke rumah
orang tua ku.
"Oiya, sudah lama kamu tak menengok rumah mu. Aku mengumpulkan
surat-surat yang datang setiap hari nya di rumah mu dan ku putuskan untuk
menyimpannya"
"Apa tadi kamu bilang? Surat? Dari siapa?" tanya ku penasaran.
"Iya surat. Banyak sekali. Sudah satu kardus dan ku taruh di bagasi
m-" aku meninggalkan Fatimah yang berteriak memanggil-manggil nama ku.
Namun ku abaikan. Surat itu lebih penting.
Aku melesat dan terburu buru menuju rumah lama ku. Akhirnya setelah 1 jam
di habiskan di jalan, aku sampai.
Oh, jantungku berdegub cepat. Aku buka bagasi ini dan bunyi nyaring gesekan
pintu yang sudah lama tak disentuh terdengar nyaring. Aku mencari kardus yang
dimaksud Fatimah, dan.. Ketemu. Kardus coklat bertuliskan 'surat mu, Tas'.
Terima kasih Fatimah, kau tetangga yang baik. Aku buka satu persatu surat surat
itu, membacanya seksama sampai di surat yang terakhir.
Dear tasya...
Untukmu yang kusayangi..
Entah apa yang harus aku taungkan
dalam secarik kertas ini
maaf aku harus mengatakan ini
kepadamu..Kita berpisah saja..
Enam tahun yang berharga yang telah
kamu berikan kepadaku.. maaf aku telah membuatnya sia-sia.
Aku tahu goresan tinta ini tidak
akan bisa menggantikan luka yang ada di dirimu.
Ada banyak hal yang mungkin tak kau
ketahui dariku.
Kamu tidak akan mengerti alasan ku
melakukan ini. Ini bukanlah suatu keputusan yang aku bisa menolaknya. Aku terpaksa
melakukan ini. Aku minta maaf untuk
semuanya Tasya..
Kau tidak bersalah. Semua ini
salahku. Jadi jangan terluka.. dan jaga dirimu baik baik. Kelak kamu akan
menemukan lelaki yang pantas bersanding dihadapanmu. aku benar benar ingin
melihatmu bahagia.
Aku sayang kamu Sya.
.
With love Dias
Ya kini aku tahu bahwa aku tidak perlu seperti ini. Aku juga tahu Dias juga
tak ingin melihatku seperti ini.
Aku sadar ternyata ketika manusias sangat-sangat menyukai seseorang, dan
ketika ada seseorang yang mengasihi, mencintai, maka kamu kan benar-benar
bahagia dan dari hati yang paling dalam kamu akan mendoakan dia ... untuk bahagia
selamanya.
The End.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar