Minggu, 01 November 2015

Manusia dan Cinta Kasih Paper 6




Gadis Batas Surat


“neng permisi neng” kata laki laki paruh baya itu menyadarkan ku dari lamunan tak berarti. Aku bergeser sedikit ke belakang menyandar dinding kereta yang sedang melaju. Bukan karena aku tida mendapatkan tempat duduk, namun aku pergi mencari toilet karena sepanjang perjalanan hingga tadi aku merasakan ingin buang air kecil. Ya aku lupa membawa sekantung cemilannya dan berakhir hanya meminum air putih 1,5 liter dan kopi kalengan.

Sungguh, kalau bukan karena hasrat buang air kecil ini besar, aku sudah balik ke kursi penumpang. Bagaimana tidak  toilet yang dihadapan ku saat ini sungguh teramat tidak layak disebut toilet. Bekas putung rokok, bekas plastik pembalut, tempat sampah yang lembab dan becek didalamnya, dan wc yang --- cukup, aku busa muntah menceritakan keadaan itu. Aku harus mencari keadaan yang membuatku lelebih segar.

Ya pemandangan perjalanan kereta membuatku perasaanku lebih baik. Padi-padi yang siap panen itu sungguh indah. Berjajah rapih, menundukan sempurna, bahkan terhampar luas di sisi kanan-kiri kereta yang ku tumpangi ini. Pemandangan yang indah untuk orang yang jarang dan langka melihat keadaan seperti itu.

“permisi mba, ini ada yang nempatin gak ya? Aku menoleh dan mendapati laki-laki brewokan menggunakan tas punggung besar menunjuk lapak kosong yang sudah tak berpenghuni di sebelahku setelah pemilik sebelumnya turun di stasiun.

“silahkan mas. Kosong kok” kata ku langsung memperhatikan pemandangan lagi.

“makasih ya mba” Aku mengangguk tanpa menoleh, laki-laki itu langsung duduk disebelahku dan memangku tas besarnya. Hening, tak ada pembicaraan lagi yang keluar dari ku ataupun dari laki-laki itu. Kita hanya sibuk dalam pikiran dan kegiatan masing-masing.


Orang-orang lalu lalang berhambur keluar dari tiap gerbong. Kini aku telah sampai di kota yang inginku kunjungi. Yogyakarta. Surganya para pelancong untuk menikmati tiap sudut daerahnya dan melupakan sesaat penatnya Ibu Kota.
                                                                              ***
“Tasya!” panggil ibu-ibu dengan pakaian yang ala kadarnya dan tas jinjing di genggamannya. Aku menghamipir Bude’ Tri yang kini sedang melambai-lambaikan tangannya kearah ku.

Mengapa harus Jogja? Entah. Tujuan pergi ke Jogja? Em, hanya hasrat ku karena ingin saja. Apakah kamu serius? Agh! Aku ke sini karena sebuah e-mail yang mengatakan—Kamu akan datang kan?
Aku sebenernya tidak ingin pergi namun hatiku berkata lain. Aku masih tmenyimpan rasa ini. Hingga aku nekat untuk mengabaikan semua yang terjadi.
***
“Tasya makan dulu yuk nak” Logat khas Jogja keluar dari mulut Bude’ Tri. Dia dan Laras—anak Bude’ Tri, yang menyiapkan makanan yang sudah tersaji rapih dan enak diatas meja makan.
“wah Bude’ masih inget aja sama makanan kesukaanku. Pasti enak nih. Makan duluan ya Bude”  
“iya dong Bude tuh kangen banget sama kamu. Ampe inget makanan kesukaan mu apa kan. Makan yang banyak ya Sya. Baru abis itu kamu istirahat”
Hening sesaat, lalu Bude membuka percakapan. “kamu tuh sebenernya ada urusan apa ke Jogja? Kok tumben mendadak gini.” kata Bude sambil melahap nasi yang mau memasuki mulutnya.

Aku tersentak mendengar pertanyaan Bude“ Eh... Hmm.. entahlah Bude’ Aku hanya mencoba mengikuti kata hatiku saja hingga sampai kesini.”

“Bude’ tau pasti ada yang benar benar mengganggu fikiranmu saat ini, tapi Bude harap apapun kejadian yang kau alami, kamu harus jaga kesehatan mu sendiri, jangan pernah untuk menyakiti diri sendiri. masa sulit itu pasti datang. Sekarang jalani aja apa yang ada didepanmu. Percayalah semua akan baik baik saja nak”

“hm iya Bude gausah khawatir aku bakalan baik baik aja kok”  Senyumku kepadanya. “yaudah bude aku duluan ya kekamar mau istirahat dulu” Bude mengangguk menjawab dan aku membalikan badan menuju kamar. Aku  ingin merilekskan diri, memulihkan stamina tubuh ini, menyiapkan fisik dan yang paling utama adalah mental. Sungguh, kota ini membuat ku gila.
***
Aku kini melangkah memasuki gedung yang saat ini sudah di hiasi oleh dekorasi unik dan megah. Peach, hijau lumut, dan juga pink soft mendominasi seluruh warna di sini. Walaupun modern namun tidak meninggalkan kesan tradisional. Menarik. Seperti kamu dengan pakaian resepsi pengantin yang mengagumkan. Oh, sungguh.. mengapa kenyataan saat ini sungguh menyakitkan untuk ku? Tidak bisakah, sedikit saja kebahagian berpihak padaku? Untuk saat ini? Aku ingin kamu. Melihat mu berpenampilan seperti ini sekarang, membuat sesuatu yang berdetak sedaritadi di dada ku tak mau berhenti. Entah kapan berhentinya, mungkin nanti.. setelah semua kesakitan ku hilang.

Rasa penasaran ku terbayar sudah. Dirimu pun sudah melihat ku datang di acara terpenting mu, mungkin. Aku memang datang ke acara terpenting mu, namun aku sama sekali tidak ingin memberi selamat atas kebahagian mu yang saat ini justru membuat ku terbakar api cemburu. Panas. Bukan karena suhu, namun keadaan ini yang membuat atmosfer sekeliling ku panas. Berkeliling dan menebar senyum palsu ke orang-orang tidak membuat api ini padam. Hingga aku sudah tak peduli dengan acara di dalam gedung sana. Hanya duduk di bangku yang tepat di bawah pohon rindang. Tidak seramai seperti yang di dalam, tapi cukup membuat ku perlahan-lahan mengembalikan kewarasan ku ini.

"Terima kasih" bagaimana bisa orang ini disini? Aku sedang tak ingin di ganggu bahkan kamu sekali pun, Dias. Dia sangat gagah dengan jaz itu.

"Kamu engga perlu memandangku begitu lama seperti itu" sial. Narsis sekali dirimu.
Aku membuang muka, acuh. Lebih tepatnya tak peduli.
"Kenapa kau tinggalkan acara mu?"

"Butuh udara segar"

"Omong kosong" aku menghardik dirinya.

"Sama seperti mu." aku menoleh cepat kearahnya. Maksudmu apa?--tak perlu ku lontarkan pertanyaan itu, raut wajah ku sudah mewakilinya.

"Berhentilah bersikap sok kuat seperti itu. Apakah kau tak lelah memakai topeng? Apakah tak apa?"

"Apa peduli mu? Aku yang merasakan dan bukan kau. Jadi pergilah dari sini"
Tuhan. Mengapa aku harus terjebak dalam situasi seperti ini?. Membuatku tambah frustasi saja.

"cobalah terima kenyataan dan jalani hidupmu dengan baik. Cari laki-laki yang lebih baik dari ku"
Tubuhku gemetar mendengar itu.

"Oh mudah sekali anda berbicara seperti itu, Tuan" sarkastik sekali kah ucapan ku?

"Cukup 'Sya. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan"
Ada apa dengan raut wajah mu saat ini? Kamu kasihan padaku? Sayangnya aku tak butuh rasa kasihan mu itu.

"terima kasih atas perhatiannya. Aku pergi"

Aku sungguh tak bisa menahan air mata ini lagi. Aku malu.

"Ku mohon--" cengkraman tangannya kuat, mampu membuat ku memberhentikan langkah ku untuk pergi dari sini.

"--jangan berpikir aku tak peduli pada dirimu. Aku juga sama sakitnya dengan dirimu. Aku tak bisa mengatakan kenyataan sebenarnya padamu" lanjutnya. Genggamannya mengendur dan akhirnya terlepas. Aku melanjutkan langkah ku dan pergi dari lokasi.

Tidak ada lagi kenangan manis di kota ini. Aku berhenti. Aku menuruti perintahmu untuk menghapusnya dan mencari takdir baru.

Biarlah rasa sayang ku ini terus menghantui ku. Aku yang salah dari awal. Terlalu terobsesi padamu sehingga saat resepsi pernikahan mu saja rasanya aku ingin menghancurkannya dengan bom rakitan. Aku terlalu gampangan yang menerima dengan mudah perhatian seorang laki-laki baik seperti mu. Oh, murahan sekali dirimu, Tasya.

Helaan napas berat ini menjadi awal bahwa aku saat ini merelakan mu untuk yang lain. 
                                                                            ***

7 bulan kemudian.

Oh tidak. Aku benci hari minggu. Kenapa harus ada hari minggu? Beberapa jam lagi hari sibuk pertama di awal minggu bulan November akan tiba. Ya walaupun bisa dibilang masih lama tapi ini 'horor'. Oke, ini bad day.

"Hey, kamu tasya kan?" perempuan berkerudung pink memegang bahu kanan ku. Tunggu, sepertinya aku tahu dia.

"Fatimah kah?"

"IYA. Benar. Waah ingatan mu ternyata masih bagus ya Tas" dia sungguh senang sekali bertemu ku. Aku juga. Em, dia adalah tetangga sebelah rumah ku dulu. Ya, sebelum ku putuskan untuk bergabung lagi dan pulang ke rumah orang tua ku.

"Oiya, sudah lama kamu tak menengok rumah mu. Aku mengumpulkan surat-surat yang datang setiap hari nya di rumah mu dan ku putuskan untuk menyimpannya"

"Apa tadi kamu bilang? Surat? Dari siapa?" tanya ku penasaran.

"Iya surat. Banyak sekali. Sudah satu kardus dan ku taruh di bagasi m-" aku meninggalkan Fatimah yang berteriak memanggil-manggil nama ku. Namun ku abaikan. Surat itu lebih penting.

Aku melesat dan terburu buru menuju rumah lama ku. Akhirnya setelah 1 jam di habiskan di jalan, aku sampai.

Oh, jantungku berdegub cepat. Aku buka bagasi ini dan bunyi nyaring gesekan pintu yang sudah lama tak disentuh terdengar nyaring. Aku mencari kardus yang dimaksud Fatimah, dan.. Ketemu. Kardus coklat bertuliskan 'surat mu, Tas'. Terima kasih Fatimah, kau tetangga yang baik. Aku buka satu persatu surat surat itu, membacanya seksama sampai di surat yang terakhir.

Dear tasya...
Untukmu yang kusayangi..
Entah apa yang harus aku taungkan dalam secarik kertas ini
maaf aku harus mengatakan ini kepadamu..Kita berpisah saja..
Enam tahun yang berharga yang telah kamu berikan kepadaku.. maaf aku telah membuatnya sia-sia.
Aku tahu goresan tinta ini tidak akan bisa menggantikan luka yang ada di dirimu.

Ada banyak hal yang mungkin tak kau ketahui dariku.
Kamu tidak akan mengerti alasan ku melakukan ini. Ini bukanlah suatu keputusan yang aku bisa menolaknya. Aku terpaksa melakukan ini.  Aku minta maaf untuk semuanya Tasya..
Kau tidak bersalah. Semua ini salahku. Jadi jangan terluka.. dan jaga dirimu baik baik. Kelak kamu akan menemukan lelaki yang pantas bersanding dihadapanmu. aku benar benar ingin melihatmu bahagia.
Aku sayang kamu Sya.
.
With love  Dias



Ya kini aku tahu bahwa aku tidak perlu seperti ini. Aku juga tahu Dias juga tak ingin melihatku seperti ini.

Aku sadar ternyata ketika manusias sangat-sangat menyukai seseorang, dan ketika ada seseorang yang mengasihi, mencintai, maka kamu kan benar-benar bahagia dan dari hati yang paling dalam kamu akan mendoakan dia ... untuk bahagia selamanya.


The End.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar